Breaking News

Mengenal Depresi bersama A Untuk Amanda (dan Sebuah Pengakuan)



Judul: A untuk Amanda
Penulis: Annisa Ihsani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN13: 9786020326313
Jumlah halaman: 264
Tanggal terbit: 24 Maret 2016
Tanggal baca: 8 Agustus 2017

“Tadinya kukira orang mengalami depresi ketika ada sesuatu yang salah dengan hidup mereka. Tapi bagiku, depresi datang ketika segala hal dalam hidupku berjalan dengan sempurna.”

Amanda memiliki kehidupan yang sempurna. Memperoleh nilai A pada setiap mata pelajaran, dengan Index Prestasi 4.00. Akan selalu mengangkat tangan untuk menjawab semua pertanyaan yang dilemparkan gurunya, terima kasih pada otaknya yang encer. Mempunyai ibu yang begitu sayang padanya. Ia juga punya Tommy, pacar yang sudah dikenalnya selama hidupnya, berencana untuk hidup bahagia bersama Tommy dengan dua anak dan memiliki rumah di area suburban. Ia tergabung dengan Klub Komputer, tempat para genius di SMAnya berkumpul. Ia bahkan mampu menjalin pertemanan dengan Helen/Helena, siswi populer di sekolahnya yang lebih paham pada perbedaan shadelipstik daripada isi tata surya.


Semua bermula saat di kelas, gurunya melempar pertanyaan soal ekonomi. Amanda menunjukkan tangan, bersiap menjawab, merasa yakin akan keabsahan jawabannya. Namun sang guru menunjuk siswa lain, yang memberikan jawaban yang berbeda. Ternyata jawaban siswa tersebut yang benar, sementara jawaban awal Amanda salah. Amanda mempertanyakan apakah selama ini keberuntungan yang selalu menutupi ketidakpintarannya dan membuatnya pintar di mata semua orang. Sejak itu, berulang kali Amanda berpikir bahwa ia penipu; bahwa yang menyebabkannya mendapat nilai bagus adalah semata-mata rentetan kebetulan; bahwa sesungguhnya ia tak sepintar itu; bahwa dunia akan hancur jika semua orang mengetahui kenyataan ini.

Parahnya lagi, pada sebuah ujian Sosiologi, Amanda memperoleh nilai B minus. B minus pertamanya. Selanjutnya, nilai-nilai-bukan-A-nya pun bermunculan. Dan kini di sinilah ia: ketika memperoleh nilai rendah, ia merasa gagal; namun jika memperoleh nilai tinggi, ia merasa sedang menipu semua orang.
Ada yang salah dengan otaknya.
 "Katakan pada saya, Amanda," kata Dokter Eli, "apa kau pernah mendengar tentang impostor syndrome atau sindrom penipu?"

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


“Apa pun yang saya dan orang lain pikirkan, itu tidak penting. Satu-satunya hal yang berpengaruh adalah apa yang kaupikirkan tentang dirimu sendiri.”

A untuk Amanda sudah menarik perhatianku jauh sebelum ini. Aku memang selalu tertarik dengan cerita berbau trauma dan depresi, sehingga buku ini sudah menjadi wishlistku sejak dulu.


Ditulis dari sudut pandang Amanda yang polos, sarkastik dan labil membuat karakter Amanda menjadi sangat kuat. Penulis dengan apik menggambarkan tokoh yang cerdas sekaligus depresif sedemikian lupa hingga mudah untuk dinikmati oleh pembacanya. Serunya, Amanda ini juga lucu.

“Jadi si Dokter Eli ini memberimu obat?”
“Yeah. Tapi dosisnya rendah. Dan obat ini cukup populer.” Kenapa aku merasa perlu mencari pembenaran?
“Kedengarannya tidak natural,” gumam Tommy.
TIDAK NATURAL? Jadi apa yang natural? Ginseng?!

Banyak hal yang dibahas dalam cerita. Tentu saja depresi adalah hal pertama yang terlintas di kepala pembaca. Secara umum, depresi (yang-adalah-penyakit-betulan-jadi-tolong-kurang-kurangin-ngejudge) adalah penyakit yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah serotonin (salah satu jenis neurotransmitter di otak). Amanda divonis dengan impostor syndrom atau sindrom penipu (yang juga baru kuketahui bahwa ada penyakit dengan nama demikian). Yang membuatku takjub saat membaca novel ini adalah bahwa ternyata depresi bukanlah sebuah penyakit sederhana, ia terdiri dari banyak sekali jenis yang bahkan tidak kita sangka sebelumnya.

Salah satu bagian paling menarik dari A untuk Amanda adalah percakapan antara Dokter Eli (psikiater) dan Amanda. Yang bisa kulihat adalah bahwa psikiater punya cara yang unik dalam berinteraksi dengan pasiennya. Percakapan mereka adalah satu jenis percakapan berat (walau terasa ringan, apalagi Dokter Eli sering menanyakan pertanyaan yang sama), yang bagiku membutuhkan konsentrasi lebih untuk memahaminya. Aku bersyukur membaca buku ini di rumah dengan damai dan tenang, bukan di tempat ramai, jadi aku lebih bisa menangkap esensi dari dialog yang berat ini.

Aku begitu mencintai tokoh Amanda. Maksudku, ia terasa begitu relatabledengan penderita depresi. Ada banyak detail dalam ceritanya yang menurutku bisa mematahkan stigma atau judgementaltentang depresi. Penderita depresi tidak selalu berakhir dengan pikiran tentang bunuh diri atau melukai diri sendiri, sebagaimana tokoh utama yang pun tidak mengalami hal serupa. Beberapa tanggapan soal depresi seperti “egois”, “tidak dekat dengan Tuhan”, “mengharapkan pujian”, “perlu ke salon” dan lain-lain juga disinggung di sini, seakan-akan penulis ingin menyindir mereka yang menganggap remeh pasien depresi.
Atau tidak, entahlah.

Sebagai calon apoteker yang baik lagi berbudi luhur, aku tentu saja akan memperhatikan obat apa saja yang disebut dalam cerita ini: Prozac (fluoxetine), Xanax (alprazolam), dan Zoloft (sertraline). Aku lantas merasa gagal karena harus googling dulu apa kandungan aktif Zoloft hahaha. Dan seperti disebutkan dalam cerita ini bahwa obat-obatan tersebut hanya bisa diperoleh dari resep dokter, maka jangan sampai kamu mengonsumsi obat-obatan sejenis ini hanya karena kamu “merasa” depresi, tanpa rekomendasi dokter ya. Tanpa resep dokter, mengonsumsi obat-obatan tersebut bisa dianggap penyalahgunaan yang berujung hukum, kayak artis anu yang ditangkap karena mempunyai tiga strip Dumolid (nitrazepam).

Nah, soal judulnya (dan Sebuah Pengakuan), aku pernah mengonsumsi Xanax. Dan belum apa-apa, aku udah kandas oleh efek sampingnya. Kayaknya aku emang nggak bakat jadi pecandu narkotika.
See, aku bilang Amanda ini tokoh yang relatable, bahkan dengan kehidupanku.


Selain depresi, hal yang disinggung dalam A untuk Amanda antara lain adalah feminisme dan agnostisisme. Dan dari beberapa dialog dalam ceritanya, Amanda seperti ingin menyampaikan pada pembaca bahwa feminisme bukan berarti hidup tanpa laki-laki dan bukan berarti pula tidak boleh sedih atas perginya laki-laki yang kita sayangi. Namun bahasan soal agnostisime bagiku masih terlalu abstrak, aku hanya agak khawatir jika ada pembaca yang belum dapat mencerna mengapa penulis harus menyinggung hal tersebut.

Selain karakter yang kuat serta beberapa hal yang dibahas tersebut, aku cukup memperhatikan latar tempat yang digunakan oleh penulis. Tadinya –dengan polosnya– aku menganggap cerita ini berlokasi di Indonesia, selain karena penulisnya orang Indonesia, juga karena nama-nama tokohnya Indonesia banget. Namun lama-lama aku sadar bahwa lokasi cerita ini mungkin juga fiktif: negara tropis dengan sistem penilaian SMA menggunakan nilai huruf dan Index Prestasi, memulai tahun ajaran di bulan September, dan mengijinkan warga negaranya menjadi agnostik secara terbuka. Untuk memudahkan imajinasiku, aku menganggap cerita ini berlatar di Singapura. Ya, biar gampang aja sih. Nggak usah protes.

Over all, aku suka dengan cerita ini. Aku bahkan merasa buku ini penting untuk dibaca oleh remaja (terlepas apakah baik-baik saja jika remaja membaca soal agnostisisme).

Rating:
⭐⭐⭐⭐

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kamu sudah baca A untuk Amanda? Bagaimana menurutmu?


“Tidak ada yang bisa berhasil sepanjang waktu. Di sisi lain, tidak ada yang bisa gagal dalam segala hal. Setiap orang punya jatah kesuksesan dan kegagalan.”


Tidak ada komentar